*Zara Tricia's point of view.
Gatau harus gimana cara ngejelasin ke Bara tentang Brian. Waktu itu ketika Bara tanya apa ada suami, aku berbohong. Haduhh.
"Bar...a-aku..."
"Udah punya suami?" tanyanya dengan cepat memotong pembicaraanku.
Aku mengangguk, pasrah. "Kenapa waktu itu ketika aku tanya, kamu gak jawab jujur?" tanyanya lagi membuatku diam.
"..A-aku takut," jawabku akhirnya.
"Takut apa?" Aku diam lagi beberapa saat. Tapi tiba-tiba tangannya meraih bahuku. Bara memeluk tubuhku yang gemetar menahan tangis.
"Gapapa," katanya. Sejujurnya aku malah kaget denger dia bilang gapapa.
"Kok?"
"Ya, udah gak sama dia lagi kan? Maksudku, kalian masih suami istri atau udah pisah?"
"U-udah." jawabku. Agak berbohong sedikit. Aku memang sudah mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan, dan ke dia. Tapi sampai sekarang belum ada jawaban. Menurutku Bara gak perlu tahu karena memang tujuanku pisah dan dia gak ada hak lagi.
"Coba, supaya ke depannya kita gak ada salah paham lagi, kamu cerita sama aku." kata Bara.
Aku mencoba bercerita kepadanya. Alasan aku menikahi Brian. Karena uang. Aku jujur karena memang itu yang Brian tawarkan sebelum kami menikah. Brian itu temannya temanku. Kami dikenalin. Aku cerita juga kepada Bara gimana dia memperlakukan aku. Bahkan di depan Juno.
"Serius kamu? Kamu ditonjok sama dia di depan Juno?" tanya Bara terkejut, aku mengangguk.
"Kamu tanya aja sama Juno kalau mau pastiin,"
Lalu aku menceritakan kenapa aku mau menikah. Brian tahu kondisi keuanganku yang sekarat. Aku kerja di Bank ini pun baru, tadinya serabutan. Sedangkan Juno harus sekolah.
"Brian mengajakku makan malam di hotel mewah, dan ujung-ujungnya... dia bilang dia mau biayain hidupku sama Juno asalkan mau jadi selingkuhan dia. Aku kaget dan hari itu baru tahu kalau dia punya istri."
"Bahkan dia bilang dia punya istri setelah aku di cekokin minum wine hampir 1 botol."
"Kalau aku ditidurin tanpa aku mau, itu termasuk diperkosa gak sih?" tanyaku. Bara mengangguk.
Aku menghela napas sebelum melanjutkan, "Nah ya intinya malam itu aku sama dia...Aku gak bisa lawan sama sekali, entah karena wine atau karena ada sesuatu di minuman. I dont know. Sampe sekarang aku pun belum tau."
Aku mengusap tengkukku sendiri, "A-aku masih perawan waktu itu...."
"Hmm.. lalu?"
"A-aku hamil akhirnya.." aku mengakui sisi gelapku. Akhirnya, kepada Bara. Aku pikir, dia berhak mengetahui yang sesungguhnya kan?
Bara mengusap wajahnya, "Sekarang dimana anak itu Zar?"
"Keguguran..."
Kali ini Bara menghela napasnya, "Sengaja?"
"Tadinya aku berniat untuk sengaja, tapi Brian akhirnya bilang mau tanggung jawab. Aku udah seneng aja. Lalu istrinya tau. Istrinya datang ke aku. Bicaranya emang baik, baiiiikk banget. Terlihat sangat tenang, aku jadi minta maaf karena dia terlihat bijaksana."
Aku melanjutkan, "Dia ngasih aku obat. Dia bilang, ini baik untuk kandungan. Minum 2x sehari. Dia memberikan nomor teleponnya ke aku, dan nyuruh aku untuk bilang ke dia kalau ada apa-apa."
"Lalu... 2 hari setelah meminum obat itu, aku mengalami pendarahan. Aku telpon istrinya Brian, bilang kalau aku pendarahan. Lalu dia malah bilang mampus dan nyumpahin aku mati." aku tertawa lirih. Menatap ke kuku tanganku, gak berani liat Bara sekarang.
"Akhirnya aku dibawa ke dokter sama tetanggaku, dan dibilang aku keguguran. Rahimku, nyaris rusak karena efek dari obat itu sangat berbahaya. Udah deh. Abis itu aku minta cerai sama Brian."
Bara mengangguk-angguk, tapi tidak menanggapi ceritaku, "Tapi, yang tadi siapa?"
"Itu, suaminya temen kerja aku dulu. Suaminya temennya Brian. Entahlah kenapa dia kayak gitu, padahal aku gak pernah ngapa-ngapain." jawabku. Kali ini aku benar bingung. Aku menghindar dari cewek itu karena dia sering memakiku di depan umum setiap kali bertemu di tempat umum. Bahkan pernah ketika aku di kantor, dia berperilaku seperti itu.
"Kalau aku jadi dia jelas aku takut sih suamiku diambil sama kamu." kata Bara sambil tersenyum.
"Kenapa?" tanyaku kali ini sambil mengerutkan dahi.
"Kamu seksi banget. Siapa yang gak ngebayang-bayangin buat tidur sama kamu?"
Aku merona, karena malu.
"Apalagi kalau...hmm.." Bara tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Apaa?"
"Juno udah tidur belum ya?" tanya Bara.
"Gak tau deh."
Tiba-tiba Bara menghampiriku. Aku menegakkan badan dan melihatnya dengan tatapan bertanya. Kilat dimatanya menyiratkan sesuatu, hasrat. Nafsu. Aku seperti langsung tahu apa maksudnya dia mendekat.
"Aku sayang sama kamu,"
Wow. Jujur aku tidak menyangka hal itu yang keluar dari mulutnya. Biasanya dia bersikap bar-bar. Menggunakan segala kesempatan yang ada untuk menggagahi aku. Tapi kali ini....
"Aku juga sayang sama kamu..."
Dia tersenyum, "Aku gak tahu nih kenapa aku gampangan banget ya semenjak ketemu sama kamu." dia mengatakan itu dengan sedikit malu, sambil menggaruk kepalanya.
"Gampangan gimana?" tanyaku berusaha mengorek.
"Aku...aku gak pernah tidur sama sembarang orang.." Mataku membulat, kaget lagi dengan pernyataannya. "Aku juga gak gampang bisa suka sama orang."
"Laluu?"
"Kalau ada kesempatan buat nikah lagi, kamu mau?" tanya Bara.
Aku mengangkat bahu, "Yang jelas kalau aku ada kesempatan untuk menikah, aku mau menikah karena aku cinta, karena orang itu cinta sama aku. Gak mau kayak kemarin."
Bara meraih daguku dan mencium bibirku pelan. "Aku cinta sama kamu, ayo kita nikah Zara."
Kali ini, mulutku menganga mendengar kalimat yang diucapkan Bara. Lebar. Menganga lebar.